resep chesee stick


Bahan:

  • 350 gr terigu protein sedang
  • 70 gr tepung kanji
  • 1/2 sdt garam
  • 1 sdt baking powder
  • 1/2 sdt kaldu ayam instan
  • 70 gr margarin
  • 150 gr keju cheddar parut
  • 2 sdm air es
  • 2 butir telur, kocok lepas
  • Minyak untuk menggoreng secukupnya

Cara membuat cheese stick :

  1. Ayak terigu, tepung kanji, garam, dan baking powder
  2. Campur dengan kaldu ayam instan, margarin, keju parut. Aduk dan remas sampai adonan tercampur rata.
  3. Tambahkan air es dan telur.
  4. Remas kembali sampai adonan kalis (tidak lengket di tangan)
  5. Gilas dan tipiskan dengan menggunakan penggiling mie sampai ketipisan ukuran 1-2 mm
  6. Kemudian potong sepanjang 10 cm
  7. Goreng sampai matang dan kekuningan. Kemudian angkat dan tiriskan
  8. Tunggu sampai dingin baru kemudian disimpan dalam wadah tertutup rapat.

Keterangan:

  • Tidak mempunyai penggiling mie bukan merupakan halangan untuk bisa membuat cheese stick di rumah. Adonan bisa digiling secara manual dengan menggunakan botol hingga menghasilkan ketipisan yang dikehendaki
  • Masukkan cheese stick sedikit-sedikit ke dalam minyak panas supaya tidak saling lengket
  • Ingin menghasilkan varian cheese stick yang lain? bisa menghilangkan bahan keju dan menggantinya dengan bawang goreng dan daun seledri

 

Kecil – Kecil Cabe Rawit


Bagi sebagian orang memulai usaha mungkin bukan persoalan mudah. Pilihannya bisa jadi “ hidup “ atau “ mati “.
Tapi banyak pula yang mengatakan itu masalah kecil.
Menurut mereka yang berpendapat demikian, selama ada kemauan pasti ada jalan. Begitulah kira kira gambaran sederhana yang kerap kita dengar dari obrolan santai mengenai kewiraausahaan.
Apakah sesederhana itu ??????
Kalau kita menyimak kisah sukses pengusaha / wirausahawan sepertinya terdapat benang merah yang bersifat universal yaitu Keuletan dan berani menempuh resiko. Apalagi kalau ditunjang dengan modal dan dukungan infrastruktur lainya.
Kata orang keuntungan sudah di depan mata.
Namun dari pengalaman sukses pengusaha, hampir tidak ada yang mengawali bisnis mereka dengan kesiapan 100 %. Masuk akal, Kalau menunggu semua siap dan sempurna 100 % kapan bisa dimulai?
Pengalaman Ferdinand Kristianto, pemilik Cannizaro yag bermarkas di depok, memang unik meski bukan suatu hal yang baru, menurut dia bisnis distro yang digelutinya tidak lebih dari keisengan berbuah keberuntungan , Apalagi tujuan awal menekuni bisnis tersebut karena factor hobi pada desain yang menarik dari suatu pakaian.
Nah kalau Yuyun, pemilik dewi group, malah bisa di bilang modal nekat, bayangkan dia hanya berbekal Rp. 1 juta dia memutuskan untuk berbisnis pada awal 1990an dengan membeli kacamata. Sekarang pengusaha itu telah memiliki 70 karyawan untuk mengelola 4 ruko.
Anda tertarik berbisnis ? begitu luas bidang usaha yang bisa diexploirasi. Apalagi di era digital sekarang ini, apa sih yang tidak bisa diakses, tinggal klik aja kok …

BEHAVIOR INTELIGENCE


BEHAVIOR INTELIGENT

Dalam bekerja ia hampir tidak pernah menolak tugas dan seolah tahu dengan jelas apa yang ia inginkan. Ia pun mengerjakan secara cepat dengan kualitas yang baik bahkan hampir sempurna . Bayangkan betapa bernilainya individu seperti ini.

Dalam situasi lain kita sering menemukan orang – oang yang selah olah tidak kepikiran mengenai apa yang harus dilakukan, meskipun sudah berpengalaman selama puluhan tahun. Ada yang jelas – jelas punya wewenang dan tanggung jawabyang tinggi di perusahaan, tetapi terlihat seolah melimpahkan semua pelaksanaan pada orang lain, seakan lupa bahwa oarng tersebut adalah ahli exsekusi.

Bila kita dengarkan baik baik, bisanya mereka punya analisis yang benar bahkan tidak jarang menunjukan pengetahuan, argumentasi yang cemerlang. Hanya saja ketika bicara soal pelaksanaan, bahkan yang sangat sederhana , pembicaraan mulai berputar – putardan mereka seolah – olah gelap dalam membuat ction plan dan kerangka waktu.

Teori yang begitu kuat langsung terasa  mentah bila individu tidak dapat menentukan prioritas, memilih hal apa yang harus dilakukan terlebih dulu, mana yang harus di pelajari, dan ana yang boleh disisihkan. Ujung – ujungnya kita menyebut individu – individu seperti ini sebagai “ OMDO “, Tidak Walk the talk

“ Behavior Inteligent “ adalah sekumpulan keterampilan dan kemampuan untuk menyeleksi, mengeksekusi, dan memilih tindakan yang tepat untuk mengelola suatu situasi , baik social maupun bersifat proyek nonmanusia.

Orang yang inteligensi emosi tinggi adalah smart with people, sementara orang dengan behavior intelligence tinggi, tahu cara menyelesaikan tugas, baik itu yang melibatkan orang maupun tidak.

Jadi emotional intelligence bisa embedded dalam behavior intelligence , tetapi tidak semua orang yang ber IQ tinggi otomatis memiliki behavior intelligence yang tinggi.

Orang denga behavior intelligence tinggi mempunyai kapsitas operasional yang kuat. Waktu, tindakan, keputusan, menjadi komoditas di dalam pikirannya. Ia pun peka deadline . Bahasanya  “ bahasa waktu “

Contoh : Dalam 30 menit kamar ini harus siap.

Bahasa “ kita “ biasa di gunakannya

Orang seperti ini tidak berkutat pada egonya tapi lebih terobsesi dengan menyelesaikan Tugas.

Bagi mereka sikap terhadap orang lain tidak sulit dikembangkan karena seseorang dengan operational excellence tahu harga orang lain, yang bisa diajak bekerja bersama dalam meyelesaikan tugasnya.

Iatilah “ pelaksana “ untuk karyawan yang berkemampuan “ operasional “ sering mengakibatkan kita lupa bahwa sampai tingkat executive pun kita perlu menguasai eksekusi.

Bahkan seorang jenderal George s paton terkenal dengan ucapannya “ An active mind cannot exist in an inactive body.

Kita perlu ingat peter drucker menekankan “ Executives are doers, they execute “, u tak banyak gunanya bila para executive tak mampu menerjemahkan ke dalam tindakan. Seorang pemimpin harus bisa mengecek kualitas dan pencapaian hasil dan langsung membayangkan cara – cara pencapaiannya.

Bukankah orang yang sukses melaksanakan tugas juga kan merasa happy ?????

“ A really great talent finds it happiness in execution “.

Costumer Care Management


COSTUMER CARE MANAGEMENT

 

Ingat !!!!!!!

 

Apa yang baik hari ini belum cukup baik untuk besok tuntutan pelanggan senantiasa berubah perubahan itu harus selalu disikapi dan diimbangi salah satunya dengan kita perbanyak training .

          Pelanggan / Tamu akan memilih menilai hotel kita tidak hanya karena image? Besarnya hotel, gedung yang megah & fasilitas yang lengkap saja , namun…………….

 

“ Sebaik apa orang – orang yang bekerja di Hotel tersebut mampu melayani dan memuaskan mereka “

Artinya sebaik apa kita dapat memberi pelayanan kepada tamu.

Yaitu dengan menerapkan Pesona Horison  6 K

  1. Keramahan / Hospitality
  2. Kesungguhan/ Sincherely
  3. Kecepatan/ Speed
  4. Kehangatan/ Warmth
  5. Kepedulian/ Care
  6. Ketulusan/ Integrity

 

Maka “  jadilah yang terpilih “ dan melayani dengan “ pelayanan yang alami dan elegant “.

Kata  “ Jadilah yang terpilih “ yang dimaksud disini adalah kita, Saya dan Temen – temen, Berbahagialah bahwa kita sudah menjadi yang terpilih.

Karena kita sudah menjadi pelayan bagi tamu – tamu kita.

“ Melayani dengan pelayanan yang alami dan elegant, maksudnya kita melayani dengan hati bukan hanya melalui mimic yang dimanis – maniskan tetapi sebuah ketulusan dari hati.

Ketulusan urutan ke berapa di 6K ke 6

Exc : Thelepone Manner

          Ada yang masih ingat ???????????

Telephone Manner

  1. Segeralah untuk menggangkat telepon pada saat berdering, Sebelum deringan ke tiga.
  2. Pada saat mengangkat telephone, jangan berbicara pada orang lain sehingga penelepon bisa mendengar pembicaraan anda.
  3. Menjawab Telephone  = Tempat + Salam + Perkenalan + Menanyakan Bantuan.

Contoh : Housekeeping Selamat Siang Dengan Sigit Bisa Dibantu ?

  1. Tanyakan Dengan Sopan Maksud dari Penelepon.
  2. Catat Apabila ada pesan yang disampaikan.
  3. Mengulangi pesan yang disampaikan  dan menanyakan apa bila ada pesan / hal hal yang kurang jelas.
  4. Apabila Penelepon sudah selesai  berbicara, ajukan pertanyaan “ Ada hal lain yang bisa dibantu ?
  5. Bila Semua sudah selesai disampaikan  oleh penelepon, lakukan pengulangan pesan yang telah disampaikan kepada penelepon.
  6. Bila pembicaraan sudah selesai, ucapkan terima kasih dan greeting untuk mengakhiri Pembicaraan.

 

Ok ada pertanyaan sampai disini ??????????????????????????????????

Quizzzzz

Quiz ini terdiri atas 4 pertanyaan untuk menuji apakah anda Qualified untuk menjadi seorang professional

Pertanyaannya mudah saja jadi jawab saja sebisa anda

  1. Bagaimana memasukan kedalam kulkas seekor jerapah ?????
  2. Bagaimana memasukan seekor gajah ke dalam kulkas ????????????
  3. Raja Hutan The Lion King Menjadi tuan rumah konferensi para binatang tentu semua hadir , tapi ada yang gak hadir tentunya siapa kah dia ???????????
  4. Ok jika anda gagal menjawab ke tiga pertanyaan anda masih punya satu kesempatan untuk membuktikan kemampuan anda
  5. Anda harus menyeberangi sungai yang terdapat banyak buaya , bagaimana caranya

 

FALSAFAH COSTUMER CARE

Kepuasan pelanggan melalui pemberian pelayanan terbaik atau pelayanan prima adalah factor terpenting yang menentukan kesuksesan Hotel Kita.

Prioritas utama dalam setiap usaha & bisnis suatu Hotel adalah  “ bagaimana kita mendapatkan dan mempertahankan pelanggan “.

  1. Bagaimana kita mendapatkan pelanggan,  kita semua seluruh karyawan adalah seorang Marketer / Sales bagi hotel. “ We All Is The Marketer “, Jadi kita otomatis dituntut untuk ikut memasarkan/ menjual hotel secara keseluruhan baik itu product Kamar, Pool, Spa Massage , and Food ( Restaurant ).

Karena kita dituntut seperti itu maka kita mau gak mau harus tau tentang product yang kita jual, bukan hanya tau tapi juga paham sampai detil product yang kita jual, Dengan cara belajar tentang segala hal tentang product ataupun promo – promo yag sedang berlangsung di hotel.

Exc : Every Event give brochure to all staff untuk ikut memasarkan/ memberitahukan promo – promo ke tetangga atau ke teman , ke atasan istri kita mungkin kalau istri kita bekerja,

100 karyawan  masing – masing dpat 1 pelanggan iitu sangat Amazing lho luar biasa.

Kalau sebuah event sukses ujung – ujungnya service kita naik siapa yang gak mau hayoooooooo…………..

Any Question ????????????????????

  1. Mempertahankan Pelanggan

Ini adalah hal yang lebih sulit dari pada mencari pelanggan.

Nanti kalau hotel baru sudah jadi maka produt sudah pasti TOP MarKOTOP.

Tinggal kita sebagai pelayan untuk melayani tamu

Beberapa cara :

  1. Merawat kamar tamu dengan baik, bersih, rapi, harum dan hygenis.
  2. Selalu meng update tentang product yang kita jual.
  3. Ikuti aturan dalam “ How To Handling Complain “.
  4. Belajar Bahasa Inggris & Mandarin.
  5. Jaga Kesehatan, Minum vitamin, jamu, jaga konsentrasi di jalan.
  6. Always use a parfum & Hairmask.

 

Ada tambahan di bagian ini dari teman teman / Pak sulis …………………

Ada pertanyaan ??????????????????????????????????????????????????

Hotel kita harus menjadi pilihan terbaik bagi para pelanggan / Tamu karena

“ Semua gaji / Upah serta Uang Service “ Secara tak langsung di bayar oleh tamu .

Satu hal yang sangat perlu dicermati sebagai suatu kenyataan adalah bahwa pelanggan akan selalu pergi ke tempat yang lebih memperhatikannya

DI PERTEMUAN MENDATANG KITA COBA BAHAS KONSEP DASAR PEMASARAN Ok ………………………………………………

HOW TO HANDLING COMPLAIN

1

2

3

4

5

Jangan pernah menilai orang lain dari bajunya


Seorang wanita yang mengenakan gaun pudar menggandeng suaminya yang berpakaian sederhana dan usang, turun dari kereta api di Boston, dan berjalan dengan malu-malu menuju kantor Pimpinan Harvard University.

Mereka meminta janji. Sang sekretaris Universitas langsung mendapat kesan bahwa mereka adalah orang kampung, udik, sehingga tidak mungkin ada urusan di Harvard dan bahkan mungkin tidak pantas berada di Cambridge.

“Kami ingin bertemu Pimpinan Harvard”, kata sang pria lembut. “Beliau hari ini sibuk,” sahut sang Sekretaris cepat. “Kami akan menunggu,” jawab sang wanita.

Selama 4 jam sekretaris itu mengabaikan mereka, dengan harapan bahwa pasangan tersebut akhirnya akan patah semangat dan pergi. Tetapi nyatanya tidak. Sang sekretaris mulai frustrasi, dan akhirnya memutuskan untuk melaporkan kepada sang pemimpinnya.

“Mungkin jika Anda menemui mereka selama beberapa menit, mereka akan pergi,” katanya pada sang Pimpinan Harvard. Sang pimpinan menghela nafas dengan geram dan mengangguk. Orang sepenting dia pasti tidak punya waktu untuk mereka. Dan ketika dia melihat dua orang yang mengenakan baju pudar dan pakaian usang di luar kantornya, rasa tidak senangnya sudah muncul.

Sang Pemimpin Harvard, dengan wajah galak menuju pasangan tersebut. Sang wanita berkata padanya, “Kami memiliki seorang putra yang kuliah tahun pertama di Harvard. Dia sangat menyukai Harvard dan bahagia di sini. Tetapi setahun yang lalu, dia meninggal karena kecelakaan. Kami ingin mendirikan peringatan untuknya, di suatu tempat di kampus ini, bolehkan?” tanyanya, dengan mata yang menjeritkan harap.

Sang Pemimpin Harvard tidak tersentuh, wajahnya bahkan memerah. Dia tampak terkejut. “Nyonya,” katanya dengan kasar, “Kita tidak bisa mendirikan tugu untuk setiap orang yang masuk Harvard dan meninggal. Kalau kita lakukan itu, tempat ini sudah akan seperti kuburan.”

“Oh, bukan,” Sang wanita menjelaskan dengan cepat, “Kami tidak ingin mendirikan tugu peringatan. Kami ingin memberikan sebuah gedung untuk Harvard.”

Sang Pemimpin Harvard memutar matanya. Dia menatap sekilas pada baju pudar dan pakaian usang yang mereka kenakan dan berteriak, “Sebuah gedung?! Apakah kalian tahu berapa harga sebuah gedung ?! Kami memiliki lebih dari 7,5 juta dolar hanya untuk bangunan fisik Harvard.”

Untuk beberapa saat sang wanita terdiam. Sang Pemimpin Harvard senang. Mungkin dia bisa terbebas dari mereka sekarang. Sang wanita menoleh pada suaminya dan berkata pelan, “Kalau hanya sebesar itu biaya untuk memulai sebuah universitas, mengapa tidak kita buat sendiri saja?” Suaminya mengangguk. Wajah sang Pemimpin Harvard menampakkan kebingungan.

Mr. dan Mrs. Leland Stanford bangkit dan berjalan pergi, melakukan perjalanan ke Palo Alto, California, di sana mereka mendirikan sebuah Universitas yang menyandang nama mereka, sebuah peringatan untuk seorang anak yang tidak lagi diperdulikan oleh Harvard. Universitas tersebut adalah Stanford University, salah satu universitas favorit kelas atas di AS.

Kita, seperti pimpinan Harvard itu, acap silau oleh baju, dan lalai. Padahal, baju hanya bungkus, apa yang disembunyikannya, kadang sangat tak ternilai. Jadi, janganlah kita selalu abai, karena baju-baju,acap menipu.

Aku mau bayar waktu papa setengan jam


Seperti biasa Anton , Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di Jakarta , tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Sarah, putri pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya.

ilustrasi
Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama. “Kok, belum tidur ?”sapa Andrew sambil mencium anaknya. Biasanya Sarah memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Sarah menjawab, “Aku nunggu Papa pulang. Sebab aku mau Tanya berapa sih gaji Papa ?”
“Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?”
“Ah, enggak. Pengen tahu aja” ucap Sarah singkat.
“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10jam dan Dibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja.

Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo ? ” Sarah berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Andrew beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Sarah berlari mengikutinya.”Kalo satu hari Papa dibayar Rp. 400.000,-untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp. 40.000,- dong” katanya.

“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur” perintah Andrew. Tetapi Sarah tidak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian,Sarah kembali bertanya, “Papa, aku boleh pinjam uang Rp. 5.000,- enggak ?”

“Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini ? Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah”.
“Tapi Papa…” Kesabaran Andrew pun habis. “Papa bilang tidur !” hardiknya mengejutkan Sarah. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.

Usai mandi, Andrew nampak menyesali hardiknya. Ia pun menengok Sarah di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Sarah didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp.15.000,- di tangannya. Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Andrew berkata, “Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Sarah. Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp.5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih” jawab Andrew

“Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini”.

“lya, iya, tapi buat apa ?” tanya Andrew lembut. “Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku, hanya ada Rp.15.000,- tapi.. karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp. 40.000,- maka setengah jam aku harus ganti Rp.. 20.000,-. Tapi duit tabunganku kurang Rp.5.000, makanya aku mau pinjam dari Papa” kata Sarah polos.

Gaya Marketing Asia Timur: PERGI DAN LIHAT SENDIRI!


Gaya marketing Jepang, Korea dan China yang lebih adaptif akan menggantikan gaya marketing ala Barat yang eksklusif, kaku dan pilih kasih. Merek mereka akhirnya justru bisa lebih diterima di pasar Indonesia, bahkan lebih dari merek lokal Indonesia sekalipun.

Mr. Kim Sam Jin terlihat begitu percaya diri berbicara di hadapan audience di acara Marketing Award. Tidak berbicara dalam bahasa Inggris ataupun Indonesia, Mr. Kim berbicara dalam bahasa Korea. Mr. Kim adalah CEO PT Inni Ceragem, salah satu perusahaan pemenang Marketing Award. Perusahaan ini diberi penghargaan karena mempunyai strategi yang unik dan experiential dalam meraih pelanggan. Caranya memang unik! Mereka memberikan terapi kesehatan gratis kepada masyarakat, khususnya masyarakat kelas bawah dan para jompo, kapan pun mereka mau. Tidak ada kesan memaksakan menjual produk, para agen justru melayani seperti layaknya para pekerja sosial. Namun, gaya seperti ini bisa menghasilkan puluhan miliar rupiah bagi perusahaan.

Memang itulah gaya pemasaran unik yang dilakukan perusahaan asal Korea Selatan ini. Perusahaan dengan slogan “Love, Service and Kindness” ini bahkan sudah menjadi perusahaan global di banyak negara seperti AS dan Kanada, sebelum masuk ke Indonesia.

Merek Ceragem, seperti halnya beberapa merek Korea lain seperti Samsung dan LG, adalah pemain global. Mereka berani menantang para pemain global lain, termasuk saudara tua mereka, Jepang. Kenyataannya, Samsung, LG, dan Hyundai, kini sudah termasuk dalam 100 most valuable brand di dunia versi Business Week dan Interbrand. Disusul kemudian oleh China yang punya merek-merek besar seperti Lenovo, ZTE, Haier, dan lain-lain.

Mengambil Alih
Pasar Asia, termasuk Indonesia, sepertinya memang menjadi arena pertempuran tiga negara ini: Jepang, Korea dan China. Setelah beberapa merek leader dari Amerika Serikat gagal di pasar Indonesia, merek Jepang dan Korea mulai mengambil alih. Ambil contoh Kodak yang menjadi market leader dunia. Ternyata, pasarnya diambil oleh Fuji Film. Juga Caterpillar, market leader alat berat itu harus mengakui kepemimpinan Komatsu di Indonesia. Sementara di bidang otomotif, jangan ditanya lagi. Sudah sejak tahun 1970-an, merek-merek Jepang mengambil alih pasar di Indonesia dari merek Amerika dan Eropa.

Kini di tahun 2010, apakah negara-negara tersebut masih akan mendominasi beberapa kategori produk di Indonesia? Para ahli banyak yang mengatakan bahwa tahun Macan adalah tahun kebangkitan negara-negara Asia yang dipimpin oleh tiga negara Asia Timur: Jepang, Korea dan China. Di belakang mereka sudah ada sejumlah negara yang akan mengikuti jejak mereka, seperti Taiwan, India, Singapura, dan Malaysia.

Merek ketiga negara ini bisa unggul disebabkan oleh pendekatan marketing mereka yang lebih pas dalam memenuhi kebutuhan pasar. Padahal, negara Barat adalah empu-nya marketing. Mereka pencipta model dan strategi marketing yang jitu. Kreativitas mereka di dunia komunikasi pun sepertinya tak pernah habis. Namun kenyataannya, mereka harus terdesak oleh tiga “Macan Asia” ini. Lihat saja bagaimana Toyota mengambil alih pasar mobil di AS. Juga ada merek-merek dominan seperti Honda, Yamaha, Sony, Nippon, Suzuki, Shiseido, dan Canon. Kini ada Samsung, LG, Hyundai, dan Daewoo, dari Korea. Juga mulai muncul Lenovo, Bird, dan Haier, dari China.

Semangat Kerja Keras
Perhatian soal kegemilangan “Macan Asia” di dunia marketing ini sebenarnya sudah ada sejak awal 1980-an. Ketika itu, Philip Kotler sudah mengeluarkan artikel berjudul “The World’s Champion Marketers: The Japanese”. Peter Drucker, ahli manajemen, bahkan ketika itu mengatakan, “Pada saat sebagian besar negara di dunia berbicara soal marketing, orang-orang Jepang sudah melakukannya.”

Semangat kaizen yang ingin selalu melakukan perbaikan dan genchi genbutsu (pergi dan lihatlah sendiri) untuk memahami situasi, bisa jadi merupakan salah satu kunci Jepang bisa sukses memasarkan produk di berbagai negara. Jepang, dahulu identik dengan me-too-product. Mereka adalah bangsa peniru. Menjalankan strategi sebagai follower ketimbang pionir. Namun, dengan semangat pembelajaran yang tinggi, akhirnya mereka bisa lebih berhasil dibandingkan pionirnya.

Menurut Andre Wenas, pakar global marketing, Jepang memang sudah menjadi raksasa ekonomi. Besaran GDP-nya di tahun 2010 diperkirakan sebesar US$ 5.128 triliun. Adanya sikap spartan, ulet, tekun, rinci, serta kemauan belajar yang keras merupakan budaya yang mendorong keberhasilan merek Jepang di berbagai belahan dunia.
Sama halnya dengan Andre, Bob Widyahartono, pengamat Asia Timur dari Fakultas Ekonomi Tarumanegara ini mengatakan bahwa masyarakat Jepang memiliki jiwa dan semangat “makoto”, yakni kesungguhan untuk menjunjung tinggi kemurnian batin dan motivasi. Ada pengaruh mental Samurai yang pantang menyerah. Juga ada pengaruh Zen yang melihat pekerjaan duniawi sebagai laku tapa.

Keinginan belajar yang terus-menerus membuat merek Jepang juga cenderung lebih adaptif dibandingkan merek Barat. Kemampuan beradaptasi inilah yang tidak dimiliki merek-merek Barat. Kekakuan mereka untuk berfokus di satu produk saja merupakan peluang bagi merek-merek Jepang. Bayangkan perusahaan seperti Yamaha yang memproduksi alat musik bisa masuk ke sektor otomotif. Merek Sharp yang tadinya membuat pensil, kemudian masuk ke elektronik dan komputer. Sony yang sudah kuat dengan elektronik masuk juga ke industri rekaman dan seluler. Kotler bahkan pernah mengatakan bahwa perusahaan-perusahaan Jepang sering over-stretching. Maunya melebar ke mana-mana. Berbeda dengan perusahaan Barat yang lebih senang menjaga fokus pada produk intinya.

Adaptasi inilah yang akhirnya membuat merek Jepang lebih unggul dalam product development. Negara-negara Barat boleh saja menjadi inovator produk. Namun, mereka sering dikatakan lambat dalam mengembangkan produk. Sementara, merek Jepang justru kaya dengan varian produk. Kebanyakan merek dari AS cenderung memanfaatkan eksklusivitas. Namun merek Jepang, Korea, dan China, punya pandangan berbeda. Mereka berpikir, jika ada sebuah produk sedang naik daun maka setiap orang di dunia ini juga harus punya! Itulah sebabnya muncul model-model dengan harga yang murah, namun punya teknologi yang hampir sama.

Salah satu keunggulan Jepang dalam hal pengembangan produk juga terlihat dari produk Jepang yang memiliki after sales terbaik. Mereka unggul dalam membuat spare part yang murah dan tersedia di mana-mana, sehingga membuat pembeli mobil bisa lebih mudah dan nyaman dalam mengganti spare part. Berbeda dengan produsen mobil di AS yang senang membuat mobil ukuran besar, produsen mobil Jepang membuat mobil ukuran kecil yang lebih ekonomis dalam segala hal.

Soal adaptasi ini juga diakui oleh banyak top management Indonesia yang bekerja di perusahaan-perusahaan Jepang. Kebebasan menjalankan strategi marketing diakui oleh Dyonisius Beti dimana global thinking act locally dijalankan dengan baik oleh Yamaha. Slogan Yamaha Indonesia (YMKI) “Selalu di depan” misalnya, adalah manifestasi dari prinsip kando yang artinya memberikan sesuatu melebihi harapan orang.

Pandangan ini berbeda dengan top management yang bekerja di perusahaan negara Barat. “Susah, semuanya harus mengikuti approval dari regional headquarter”, kata seorang top management kepada Majalah Marketing. Jangankan mengubah strategi marketing, membuat iklan saja harus meminta persetujuan kantor pusat. Perusahaan Barat di Indonesia juga cenderung memilih konsultan atau agency global dibandingkan lokal. Kepercayaan terhadap merek global rupanya lebih besar dibandingkan kemampuan mengenal pasar lokal. Seperti dikatakan oleh seorang direktur kreatif sebuah agency lokal Indonesia, mereka sulit meyakinkan perusahaan multinasional dari Amerika Serikat bahwa mereka pun punya kemampuan dibandingkan agency global.

Semangat untuk melebur di pasar lokal juga membuat merek-merek Jepang, Korea, dan China, seperti dianggap merek sendiri di Indonesia. Mereka menerjunkan pasukan sales lokal ke pasar-pasar tradisional, berkomunikasi dengan bahasa lokal, dan membangun komunitas dengan gaya lokal. Seperti dilakukan oleh Yakult. Merek ini memanfaatkan para ibu rumah tangga untuk menjadi Yakult Ladies yang mendistribusikan merek ini di pasar rumah tangga. Misi Minoru Shirota, pendiri Yakult, adalah memberikan kesehatan bagi semua orang lewat pencernaan. Itulah sebabnya Yakult sudah terpenetrasi di lebih dari 70 ribu toko dengan 1.200 Yakult Ladies. “Kami selalu berkomunikasi secara rutin dengan konsumen dan ritel,” kata Antonius Nababan, Deputy Marketing Director Yakult Indonesia.

Kedekatan dengan konsumen akhirnya juga membuat merek Jepang, Korea dan China tidak terlalu terpaku pada urusan riset yang mendalam. Dulu banyak yang mengatakan bahwa pemasar Jepang, Korea, dan China, lebih menggunakan intuisi dibandingkan riset pemasaran. Padahal tidak juga. Intuisi terasah karena riset mereka dilakukan dengan cara terjun dan memahami langsung kondisi konsumen mereka. Angka-angka dan pengujian-pengujian statistik selalu diminta oleh para pemasar negara Barat sebelum mengambil keputusan. Sementara marketer dari Jepang cenderung menambal kualitas data dengan pengalaman mereka di lapangan. Metode consumer insight dan etnografi yang justru sedang disukai oleh pemasar merek Barat sebenarnya sudah dilakukan oleh mereka.

Persaingan Senioritas
Akan halnya Korea, negara ini memang mirip dengan Jepang. Sebagian orang bahkan menilai bahwa orang Korea lebih spartan dibandingkan Jepang. Namun, Andre Wenas menepis anggapan ini. “Kesan yang tertangkap bangsa Korea ini lebih spartan, padahal ini karena Jepang sudah melewati fase itu”, kata Andre.

Jepang dan Korea memiliki ciri-ciri yang sama, sekalipun keduanya sering tidak mau disamakan. Bahkan dalam berkantor, perusahaan Jepang dan Korea tidak mau saling bersebelahan atau satu gedung. Korea mengikuti Jepang di tahun 1975-an. Mereka datang belakangan dengan nasionalisme yang tinggi, dan tidak mau kalah dengan orang Jepang. Menurut Bob, semangat orang Korea disebut sebagai hahn, yang menggerakkan orang bersemangat, memiliki pendidikan, kerja keras sampai pengorbanan demi peningkatan kualitas hidup keluarga dan negara.

Persaingan Jepang dan Korea ini memang seperti persaingan senioritas, karena Jepang sudah hadir lebih dulu. Masalah senioritas memang kuat di kedua negara ini. Mereka menghargai senioritas atas dasar pengalaman. Mereka juga menjadi malu jika tidak bisa bekerja dengan baik, sekalipun sudah senior. Itulah sebabnya kedua negara ini berlomba-lomba karena mereka tidak mau dipermalukan. Mereka membuat produk yang berkualitas karena tidak ingin konsumennya kecewa. Mereka cenderung low profile sebelum produk mereka benar-benar berkualitas di masyarakat. Ini terjadi dengan merek Samsung atau LG yang setelah bertahun-tahun bergelut dengan teknologi baru lebih percaya diri untuk “memamerkan” produk mereka.

Seperti dikatakan oleh Harold Hutabarat, Marketing Director Samsung Electronics Indonesia, filosofi bisnis di Samsung sederhana, yakni mencurahkan sumber daya manusia dan teknologi untuk menciptakan produk dan jasa yang luar biasa. Itulah sebabnya, dibandingkan kantor perwakilan merek Barat yang bersekat-sekat, kantor perusahaan merek Korea lebih terbuka untuk bisa mempercepat pengambilan keputusan. Kecepatan menjadi pemicu Samsung untuk mengeluarkan produk-produk baru di pasar yang lebih pas untuk kehidupan masyarakat.

“Para pemimpin kami mencari orang-orang terhebat dari seluruh dunia dan memberi mereka sumber daya yang diperlukan untuk melakukan yang terbaik di bidangnya. Hasilnya, semua produk kami—dari cip memori hingga telepon seluler—semuanya memiliki kekuatan untuk memperkaya hidup. Itulah makna dari menciptakan masyarakat global yang lebih baik,” tambah Harold lagi.

China Mengambil Alih?
Agak berbeda dengan Jepang dan Korea yang malu kalau produknya punya kualitas jelek di mata konsumen, marketer asal China boleh dibilang lebih tidak malu jika produknya masih mempunyai masalah. Kehadiran merek China sudah mulai menghebohkan pada saat motor-motor China (mocin) hadir di Indonesia. Seperti kerikil yang mengganjal kaki merek-merek Jepang yang sudah eksis, kehadiran mocin memang sempat membuat merek-merek motor Jepang kegerahan. Namun seperti Tsunami, akhirnya merek mocin ini pun hilang tersapu di pasar.

Kelemahan merek China di mata konsumen memang soal kualitas. Mereka memproduksi barang-barang dengan harga murah dan kualitas rendah, serta dukungan after sales service yang lemah. Itulah sebabnya sulit mengubah mindset terhadap merek China dalam soal yang satu ini, dibandingkan merek Korea dan Jepang.

Namun, itu bukan berarti bahwa merek China tidak mendapatkan hati konsumen Indonesia. Kedahsyatan merek China untuk mengkloning produk-produk yang sedang hit di pasaran membuat merek China mudah berpenetrasi dengan cepat ke konsumen. Kekuatan mereka memakai pihak ketiga untuk bermain juga merupakan bagian dari budaya ce lie yang memanfaatkan strategi pada setiap kesempatan. Seperti ponsel-ponsel China, mereka justru terpasarkan dengan baik oleh para operator seluler. Melalui program bundling, merek seperti Nexian, ZTE atau Huawei bisa dinikmati oleh konsumen di Indonesia.

Bob sendiri menilai, China sangat inovatif dalam soal biaya. Mereka pintar mencari biaya rendah dengan teknologi yang canggih. Akan halnya mutu, mereka kini juga mulai belajar untuk menghasilkan produk yang berkualitas. Seperti halnya prinsip kaizen dan genchi genbutsu, mereka memilih mencari jawaban dengan cara terjun sendiri ke lapangan dan melakukan perbaikan terus-menerus.

Budaya Indonesia
Lalu bagaimana dengan budaya Indonesia sendiri, apakah bisa menjadi budaya yang kuat dalam memasarkan produk? Menurut beberapa praktisi marketing, budaya Indonesia jika digabungkan dengan budaya Jepang, Korea, dan China, sebenarnya bisa membantu kesuksesan produk. “Kalau soal touching your heart, orang Indonesia lebih mengerti. Apalagi kita memiliki jiwa sosial yang lebih baik dibandingkan orang asing,” kata Dyon.
Demikian halnya di Samsung, menurut Willy Bayu Santosa, Head of Corporate Marketing Samsung Electronic Indonesia, nilai budaya lokal pun tidak menutup kemungkinan untuk dicampuradukkan dengan budaya Korea. “Nilai budaya gotong-royong kita wujudkan dalam kegiatan corporate social responsibility saat melakukan aksi peduli”, ungkap Willy memberi contoh.

Andre Wenas juga mengakui ada banyak keunggulan budaya kita yang sebenarnya bisa menjadi spirit dalam fondasi bisnis jika dilakukan dengan benar. “Semangat gotong-royong adalah cikal bakal teamwork yang bisa menandingi komunalismenya orang-orang Jepang dan Korea. Peribahasa Jawa yang mengatakan “alon-alon asal kelakon” sebetulnya secara positif adalah semangat kaizen, continuous improvement, detail-rinci dan ketekunan serta kesabaran. Tidak potong kompas, asal-asalan dan akhirnya korupsi. Artefak-artefak budayanya pun sangat kaya, tari pendet, lagu-lagu daerah, seni ukir, batik, candi-candi, maupun bangunan-bangunan, atau situs-situs kontemporer hasil karya anak bangsa. Semuanya dihasilkan oleh kreativitas yang tinggi.

Pertimbangan Utamanya Dekat & Murah


Mudah dijangkau atau dekat dengan rumah serta harga yang murah adalah dua hal yang menjadikan Alfamart, Carrefour dan Indomaret dipilih oleh konsumen sebagai tempat yang paling sering dikunjungi untuk berbelanja di supermarket/hipermarket. Di samping tentunya karena banyak pilihan dan tempatnya nyaman. Demikian laporan yang terungkap dari hasil survei yang dilakukan SurveyOne belum lama ini.

Survei yang melibatkan 1.400 responden di empat kota besar (Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar) ini menyingkap apa yang menjadi faktor terpenting dalam pemilihan jasa untuk beberapa kategori. Menarik dicermati bahwa untuk jasa yang dikunjungi secara rutin, konsumen lebih mempertimbangkan masalah lokasi. Pertimbangan utama akan berbeda bila jasa itu tidak dibeli atau dikunjungi secara rutin semisal penerbangan atau asuransi.

Jika supermarket adalah tempat aktivitas rutin berbelanja, maka bank adalah tempat aktivitas rutin yang berhubungan dengan keuangan. Maka dari itu, tak heran jika BRI, BCA, Mandiri dan BNI adalah deretan nama bank yang paling banyak dipilih konsumen untuk menyimpan uangnya. Jarak yang dekat dengan rumah adalah pertimbangan konsumen untuk memilih bank. Dibandingkan bank lainnya, keempat bank tersebut memang memiliki jaringan cabang paling luas yang menyebar hingga ke setiap sudut kota, sehingga memudahkan konsumen untuk mengunjunginya.

Namun, konsumen tidak hanya melihat kedekatan lokasi sebagai pertimbangan utama. Ada juga yang memperhatikan kualitas pelayanan serta bank yang terpercaya sebagai faktor terpenting dalam memilih sebuah bank. Bagusnya, faktor ini juga sudah dimiliki dengan baik oleh keempat bank tersebut.

Sementara itu, penerbangan adalah jasa yang tidak rutin digunakan oleh sebagian besar konsumen. Ditambah lagi dengan daya beli konsumen Indonesia yang relatif masih rendah hingga saat ini. Karenanya, kebanyakan penumpang pesawat lebih mengutamakan faktor harga tiket yang murah. Faktor ini menempati urutan teratas melampaui faktor pelayanan yang baik, bahkan faktor keamanan.

Dalam hal jasa penerbangan, Lion Air paling banyak dipilih oleh penumpang Indonesia. Maklum, maskapai ini memang dikenal sebagai pelopor tarif murah di Indonesia. Dengan melakukan efisiensi di berbagai pos pengeluaran, termasuk tidak memberikan makanan bagi penumpang seperti yang dilakukan maskapai lainnya, Lion Air mampu menawarkan tarif terjangkau bagi masyarakat luas.

Tidak ingin terbawa arus persaingan tarif murah, Garuda Indonesia mencoba bertahan dengan strategi pelayanan yang lebih baik. Sebab, tidak semua penumpang Indonesia asal pilih pesawat yang murah. Masih banyak penumpang yang lebih memperhatikan faktor pelayanan dan keamanan. Strategi ini ternyata cukup efektif sehingga masih banyak konsumen yang memilih Garuda untuk jasa penerbangan. Garuda menempati urutan kedua setelah Lion Air sebagai penerbangan yang paling banyak dipilih.

Sama halnya dengan jasa penerbangan, rumah sakit bukanlah tempat untuk dikunjungi secara rutin. Umumnya masyarakat Indonesia berasal dari kelas sosial ekonomi menengah-bawah, karena itu faktor biaya menjadi pertimbangan utama dalam memilih rumah sakit. Tapi, lantaran kondisi darurat agar pasien cepat tertangani, maka banyak juga konsumen yang lebih mengutamakan jauh-dekatnya lokasi rumah sakit. Sementara itu, fasilitas dan pelayanan yang diberikan rumah sakit cuma diperhatikan oleh konsumen tertentu sebagai faktor terpenting dalam memilih rumah sakit.

Selanjutnya, hingga saat ini asuransi belum menjadi kebutuhan vital bagi sebagian besar konsumen Indonesia. Kondisi itu tampak jelas dari masih kecilnya tingkat penetrasi asuransi di Indonesia. Kalau toh memiliki produk asuransi, kebanyakan itu bukan karena kesadaran sendiri. Ini terlihat dari jawaban responden yang lebih banyak menyebut dari kantor sebagai alasan memilih asuransi. Artinya, asuransi yang mereka miliki merupakan fasilitas dari kantor.

Premi yang murah juga merupakan faktor terpenting dalam memilih asuransi, disusul oleh faktor terpercaya dari asuransi yang bersangkutan. Di sini, Bumiputera dan Jamsostek bisa menempati urutan teratas sebagai asuransi yang paling banyak dipilih konsumen. Karena Bumiputera memiliki premi yang terjangkau oleh sebagian besar konsumen; sedangkan Jamsostek, hampir semua perusahaan mengasuransikan karyawan atau buruhnya dengan asuransi ini.

Hasil survei ini menunjukkan bahwa konsumen dalam memilih sebuah jasa sering kali tidak berdasarkan karena merek terkenal. Justru kemudahan dalam mendapatkan jasa itu serta harga terjangkau yang dijadikan pertimbangan utama. Oleh karena itu, agar bisa dipilih oleh konsumen, maka jasa tersebut tidak cukup hanya bermodalkan brand awareness, tetapi juga tingkat availibility yang tinggi sehingga memudahkan konsumen untuk mendatanginya. Apalagi jika hal ini ditunjang pula dengan harga yang terjangkau.

Sop Buntut Legendaris


Awalnya tanpa brand. Setelah dikenal orang, mulai bikin brand. Tapi tetap saja tanpa promosi. Hanya mengandalkan word of mouth. Lantas, bagaimana mereka mengemas produknya sehingga mendapatkan pelanggan yang loyal?

Tahun 1978, sop buntut hanyalah salah satu menu standar di Hotel Borobudur Jakarta. Tahun 1981, saat Ani Susilowati masuk sebagai waitress, sop buntut itu diceritakan sudah populer. “Setahu saya, saat itu hanya di sini ada sop buntut berkelas hotel di Jakarta. Waktu itu memang belum banyak hotel di Jakarta,” ingat Ani yang sekarang telah duduk di jabatan puncak sebagai Food & Beverage Director itu.

Sampai dengan 1995, sop buntut di Bogor Café tersebut tetap saja belum punya brand. Padahal sudah dikenal di mana-mana. Saat itu Hotel Borobudur ditutup karena menjalani renovasi total. Praktis, sop buntut itu ikut hilang dari perbincangan. Tahun 1997 renovasi selesai. Bogor Café kembali dibuka. Sop buntut kembali disajikan. Barulah mulai muncul ide untuk memberi nama pada menu favorit tersebut. Disepakatilah sejak saat itu nama “Sop Buntut Legendaris”. Hingga sekarang, ketika disebut nama itu, orang akan selalu merujuk pada sop buntut Hotel Borobudur.

Kisah serupa terjadi pada Soto Ayam Ambengan Pak Sadi (Asli). Seperti dituturkan Pak Sadi kepada MARKETING, baru tahun 1989, ia memberi merek pada soto yang telah mulai dijualnya sejak tahun 1960 itu. Pak Sadi mulai berjualan di tanah kelahirannya, Lamongan, Jawa Timur, ketika ia masih berumur 18 tahun. Ia sendiri hanya jebolan kelas 5 SD.

Nama Ambengan diambil karena ketika pertama kali berjualan soto, tahun 1971, ia memilih lokasi di Jalan Ambengan. Maka, ketika membuka cabang di Jakarta tahun 1989, digunakanlah nama itu. Di Jakarta, telah empat kali Pak Sadi berpindah lokasi. Namun, semuanya tetap di ruas Jalan Wolter Monginsidi, Kebayoran Baru. Hanya bergeser lokasi dari nomor 24 ke 47, pindah ke nomor 30, hingga tiga tahun terakhir menempati sebuah rumah kontrakan di nomor 28.

Ada beberapa kesamaan pada kedua resto ini. Dari sisi produk, keduanya merupakan makanan khas Indonesia. Strategi promosi keduanya juga hanya mengandalkan word of mouth. Malah, belakangan Sop Buntut Legendaris tak lagi ditonjolkan. Kalau pun banyak pelanggan yang mencari sop buntut itu, pihak restoran mengarahkan pelanggan untuk membeli paket buffet, di mana di dalamnya termasuk Sop Buntut Legendaris.

Kesamaan lain, kesadaran menorehkan brand baru dilakukan setelah produk tersebut laku. Tidak dipersiapkan sedari awal. Seperti diakui keduanya, tidak ada kesengajaan secara marketing untuk menjadikan produk itu unggulan. Semua mengalir begitu saja.

Angka penjualan yang mereka catatkan pun menakjubkan. Dengan harga per porsi Rp56.000, setiap harinya rata-rata Sop Buntut Legendaris terjual sebanyak 500 mangkok, atau sama dengan 200 kg buntut sapi. Sedangkan Pak Sadi minta angka penjualan soto ayamnya yang per mangkok dijual Rp12.000 itu tidak dipublikasikan. “Takut didatangi petugas pajak lagi,” kilahnya. Inilah yang membedakan “kelas” mereka.

Perbedaan juga ada pada pengadaan barang. Semua buntut yang disajikan di Hotel Borobudur diimpor dari luar negeri. Sedangkan ayam untuk soto Pak Sadi didapatkan dari pasar lokal. “Kekhasan kami ada pada koya-nya, yakni kombinasi bawang putih dan krupuk udang (bukan pada ayamnya),” ungkap Pak Sadi. Sedangkan kekhasan sop buntut legendaris ada pada buntutnya. “Ketika ada wabah sapi gila, kami pernah coba pakai buntut lokal. Ternyata tidak cocok,” tutur Ani menjelaskan alasan memilih buntut impor. Di samping produknya, keduanya sama-sama memiliki kunci untuk menjaga kelezatan hidangan, yakni loyalitas kokinya.

Dengan cara itulah mereka mendapatkan pelanggan loyal, yang menjadi konsumen mereka sejak lama dan sulit berpaling ke tempat lain. Ke depan, Sop Buntut Legendaris akan tetap dipertahankan sebagai makanan tradisional berkelas hotel, sedangkan Soto Ayam Ambengan tetap dipertahankan sebagai makanan kelas rumah makan meski dengan pelanggan kelas menengah atas.